Congklak atau bisa juga disebut dhakon adalah suatu permainan tradisional yang saya sering mainkan saat saya kecil dulu. Papan congklak biasanya terbuat dari kayu atau ada juga yang terbuat dari plastik dengan harga lebih murah. Bentuknya seperti perahu dan didalamnya terdapat lubang -lubang yang berlawanan di sisi kanan-kiri, yang umumnya berjumlah tujuh buah serta dua lubang besar di ujung papan yang biasa saya sebut “rumah”. Selain papan congklak, ada juga biji-bijian yang merupakan alat utama untuk bermain congklak. Biji yang saya sering gunakan adalah sawo, atau bisa juga dari plastik yang dibentuk serupa biji dan batu-batuan.
Untuk bermain congklak dibutuhkan dua orang pemain. Biji-bijian yang diperlukan adalah sebanyak 98 buah. Inti dari permainan ini adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya biji di dalam lubang besar atau “rumah”. Masing-masing lobang diisi dengan tujuh buah biji. Selanjutnya, salah seorang yang sudah disepakati untuk jalan terlebih dahulu memilih lobang yang akan dijalankan dan meletakkan biji tersebut ke masing-masing lobang yang dilaluinya termasuk lubang “rumah” dan seterusnya. Oh ya, arah jalan adalah searah jarum jam. Bila saat berjalan biji di genggaman habis di lobang kecil yang terdapat biji lain, pemain bisa mengambil biji tersebut dan terus jalan. Jika biji genggaman habis di lobang “rumah”, maka pemain tetap dapat melanjutkan dengan memilih lobang di sisi miliknya. Jika habis di lobang kecil yang kosong di sisinya, pemain dapat mengambil biji yang terletak berhadapan (lobang milik lawan), biasa saya menyebutnya “tembak”. Tetapi jika habis di lubang kosong milik lawan maka permainan anda mati. Permainan akan berakhir jika tidak ada lagi biji yang bisa diambil dan pemenang adalah yang memiliki biji paling banyak di “rumah”nya.
Saat bermain congklak banyak hal positif yang bisa kita dapat. Digunakannya papan kayu dan biji untuk bermain congklak menunjukkan adanya pemanfaatan sumberdaya alami yang ada di sekitar kita sebagai sarana permainan, hal ini selaras dengan yang saat ini digaungkan oleh banyak orang yakni “back to nature“. Dengan congklak, kita juga dilatih untuk cermat dan belajar berstrategi untuk memenangkan permainan ini. Nilai positif lain yang menurut saya paling besar dari permainan congklak adalah nilai kejujuran. Saat bermain congklak kita dibiasakan untuk senantiasa jujur dalam menjalankan biji yang ada di genggaman tangan kita.
Entah kenapa saat ini saya jarang melihat anak kecil bermain congklak lagi. Mungkin kalah saing dengan playstation atau permainan teknologi lainnya yang lebih canggih. Padahal congklak adalah permainan dengan harga murah untuk belajar suatu hal yang sangat mahal harganya yakni kejujuran dan budaya bangsa.
sumber : sosbud.kompasiana
Minggu, 01 Mei 2011
Makanan khas Jawa Tengah
Berikut adalah makanan khas yang terdapat di Jawa Tengah, menurut kabupaten/kota:
* Purwodadi: swikee, nasi becek, kecap, sale pisang
* Banjarnegara: dawet ayu, buntil
* Semarang: Lunpia/lumpia, soto ayam, sate sapi, bandeng presto, nasi goreng babat, ayam goreng kraton tulang lunak, kue-kue pia, sate kambing bumbu kecap, martabak malabar, kue bandung, tahu petis, tahu gimbal, wingko babat
* Boyolali: marning (jagung goreng), paru goreng, brem cap suling gading, krupuk rambak
* Blora: Sega Pecel, sate ayam blora, soto ayam blora, tahu campur
* Brebes: telor asin, sate kambing (di Tanjung. Brebes hingga kini dikenal sebagai sentra penghasil bawang merah
* Demak: nasi garang asem, sambel blimbing wuluh, kwaci (Demak pernah terkenal sebagai sentra penghasil semangka)
* Jepara: es gempol (es pleret), rondo royal (tape goreng), klenyem (ketela parut goreng isi gula merah), kuluban (urap: nangka muda, kacang panjang dan daun mudanya, tauge/kecambah mentah, buah petai cina mentah), pecel ikan laut bakar dengan sambal santan kelapa, sate udang, terasi jepara, tempong (blenyik) ikan teri, durian petruk
* Klaten: ayam goreng kalasan, bebek goreng, emping mlinjo
* Kudus: soto ayam, sate kerbau, lentog, dodol, jenang kudus, madu mongso
* Pati: nasi gandul, sate ayam,
* Pekalongan: nasi gandul, soto tauco (tauto), nasi megono
* Pemalang: nasi grombyang, lontong dekem, sate loso
* Purwokerto: tempe mendoan, gethuk goreng, soto sokaraja / sroto sokaraja, nopia
* Purworejo: kue lompong, clorot (semacam dodol yang dibungkus daun kelapa secara memilin), gebleg (baca ge- seperti e pada kata senang dan -bleg seperti e pada kata becek), kue satu, dawet hitam, lanthing
* Purbalingga: rujak kangkung, tahu gecot, soto kriyik, es duren, klanting
* Rembang: bandeng duri lunak (di Juwana), sirup kawis-ta
* Salatiga: bakso urat, bakso babat, kripik paru, ting-ting gepuk
* Solo: gudeg, sate kambing, thengkleng, srabi solo, nasi liwet, timlo solo, racikan salat, krupuk karak/gendar, bakso popular ukuran bola golf, tahu acar, sayur tumpang
* Sragen: nasi garang asem, sate sragen,
* Sukoharjo: welut goreng
* Tegal: "teh poci" (teh yang diseduh dalam poci tanah liat kecil dan diminum dengan gula batu), sate tegal (sate kambing muda khas Tegal), sate bebek majir, pilus, krupuk antor, nasi bogana (nasi megono), Sauto (soto ayam/babat khas Tegal dengan bumbu tauco). Tegal hingga saat ini dikenal sebagai sentra penghasil teh.
* Wonogiri: gaplek, tiwul
* Wonosobo: mie ongklok, sagon, tempe kemul, geblek, wedang ronde, manisan carica, keripik jamur, dendeng gepuk
* Ungaran: tahu baxo, sate kempleng, krupuk bakar
sumber : wikipedia
* Purwodadi: swikee, nasi becek, kecap, sale pisang
* Banjarnegara: dawet ayu, buntil
* Semarang: Lunpia/lumpia, soto ayam, sate sapi, bandeng presto, nasi goreng babat, ayam goreng kraton tulang lunak, kue-kue pia, sate kambing bumbu kecap, martabak malabar, kue bandung, tahu petis, tahu gimbal, wingko babat
* Boyolali: marning (jagung goreng), paru goreng, brem cap suling gading, krupuk rambak
* Blora: Sega Pecel, sate ayam blora, soto ayam blora, tahu campur
* Brebes: telor asin, sate kambing (di Tanjung. Brebes hingga kini dikenal sebagai sentra penghasil bawang merah
* Demak: nasi garang asem, sambel blimbing wuluh, kwaci (Demak pernah terkenal sebagai sentra penghasil semangka)
* Jepara: es gempol (es pleret), rondo royal (tape goreng), klenyem (ketela parut goreng isi gula merah), kuluban (urap: nangka muda, kacang panjang dan daun mudanya, tauge/kecambah mentah, buah petai cina mentah), pecel ikan laut bakar dengan sambal santan kelapa, sate udang, terasi jepara, tempong (blenyik) ikan teri, durian petruk
* Klaten: ayam goreng kalasan, bebek goreng, emping mlinjo
* Kudus: soto ayam, sate kerbau, lentog, dodol, jenang kudus, madu mongso
* Pati: nasi gandul, sate ayam,
* Pekalongan: nasi gandul, soto tauco (tauto), nasi megono
* Pemalang: nasi grombyang, lontong dekem, sate loso
* Purwokerto: tempe mendoan, gethuk goreng, soto sokaraja / sroto sokaraja, nopia
* Purworejo: kue lompong, clorot (semacam dodol yang dibungkus daun kelapa secara memilin), gebleg (baca ge- seperti e pada kata senang dan -bleg seperti e pada kata becek), kue satu, dawet hitam, lanthing
* Purbalingga: rujak kangkung, tahu gecot, soto kriyik, es duren, klanting
* Rembang: bandeng duri lunak (di Juwana), sirup kawis-ta
* Salatiga: bakso urat, bakso babat, kripik paru, ting-ting gepuk
* Solo: gudeg, sate kambing, thengkleng, srabi solo, nasi liwet, timlo solo, racikan salat, krupuk karak/gendar, bakso popular ukuran bola golf, tahu acar, sayur tumpang
* Sragen: nasi garang asem, sate sragen,
* Sukoharjo: welut goreng
* Tegal: "teh poci" (teh yang diseduh dalam poci tanah liat kecil dan diminum dengan gula batu), sate tegal (sate kambing muda khas Tegal), sate bebek majir, pilus, krupuk antor, nasi bogana (nasi megono), Sauto (soto ayam/babat khas Tegal dengan bumbu tauco). Tegal hingga saat ini dikenal sebagai sentra penghasil teh.
* Wonogiri: gaplek, tiwul
* Wonosobo: mie ongklok, sagon, tempe kemul, geblek, wedang ronde, manisan carica, keripik jamur, dendeng gepuk
* Ungaran: tahu baxo, sate kempleng, krupuk bakar
sumber : wikipedia
Tayub
Tayub atau tayuban adalah kesenian tradisional khas suku Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tayub merupakan istilah yang digunakan oleh orang Jawa dalam sebuah seni tari. Kesenian ini sangat populer di kalangan masyarakat Jawa karena tampilannya yang atraktif, dinamis, estetis dan ekspresif. Tari Tayub adalah seni tari yang menjadikan perempuan sebagai unsur dominan. Dengan menggunakan pakaian khas orang Jawa tempo dulu, seperti penggunaan Jarit (kain panjang untuk pakaian bawahan) serta selendang yang terikat dileher, para perempuan penari tayub menari dengan begitu lemah gemulai untuk menghibur dan mengajak berjoget para penonton. Para penonton di sini sebagian besar adalah kaum lelaki.
Ajakan joget dari sang wanita penari Tayub ini disimbolkan dengan peletakan selendang pada leher penonton laki-laki. Para lelaki yang telah diikat dengan seledang pada lehernya tidak dapat menolak ajakan si penari. Atas jasanya, kemudian para penari tayub akan mendapatkan uang/sawer. Semakin banyak sawer yang diberikan, maka si penari Tayub semakin lama berjogetnya. Mereka terus menari dengan diiringi satu unit musik gamelan Jawa berupa ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang dan angklung. Selain itu, para penari Tayub biasanya juga mendendangkan lagu-lagu ataupun syair-syair Jawa seperti gurindam yang berisi nasehat-nasehat bijak, seperi nasehat untuk membina rumah tangga dengan baik.
Sejarah mencatat, kesenian Tayub pertama kali muncul di kalangan masyarakat Blora, Jawa Tengah. Kesenian ini menjadi ajang hiburan masyarakat Blora yang notabene sebagian besar adalah para petani. Masyarakat petani yang cenderung memiliki pola hidup dan pikir tradisional, dalam konteks ini lebih menggemari kesenian lokal-tradisional daripada kesenian modern kaum urban. Namun, apakah kesenian tayub merupakan hasil dari kesenian rakyat? Pertanyaan ini, setidaknya akan mengantarkan kita pada teori yang digagas oleh Clifford Geertz.
Jika kita mengikuti kategori sosial yang digagas oleh Clifford Geertz dalam bukunya “The Religion Of Java”, maka kesenian ini dapat digolongkan sebagai kesenian milik kaum priyayi. Kaum priyayi di sini adalah mereka yang memiliki garis keturunan dari para keluarga bangsawan keraton Jawa, yakni kesunanan Yogyakarta dan Surakarta. Sudah bukan rahasia apabila kesenian yang dianggap cukup representatif untuk mewakili masyarakat Jawa secara keseluruhan adalah kesenian yang dihasilkan oleh pihak keraton. Sementara itu, kesenian yang lahir dari rahim kaum alit, rakyat kecil tidak cukup representatif sehingga kesenian mereka lebih seringkali dimarjinalkan. Artinya, kesenian yang dihasilkan oleh rakyat kecil seringkali tidak mendapatkan pengakuan, terutama dari pihak keraton.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Kuntowijoyo lebih memaknai kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi sebagai sebuah legitimasi bagi kekuasaan keraton. Dalam konteks ini, menurut interpretasi penulis, kesenian dapat digolongkan menjadi dua bentuk. Pertama, kesenian yang memiliki pola. Dalam kategori ini, kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi lebih terpola dan terstruktur dibandingkan dengan kesenian kaum alit. Kedua, kesenian yang tidak berpola. Dalam konteks ini, kesenian rakyat-lah yang dianggap tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini tercermin dari bahasa dan simbol yang digunakan kaum alit yang jauh dari budaya keraton yang ketat. Terlepas dari apakah kesenian Tayub juga merupakan wujud nyata adanya legitimasi dari kaum bangsawan, Tayub tetap-lah sebuah kesenian yang estetis yang layak diklaim sebagai kesenian dalam konteks Jawa. Sebab realitanya kesenian ini memang telah menjadi primadona di kalangan rakyat Jawa, khususnya rakyat pinggiran.
Sungguhpun demikian, yang patut disayangkan adalah munculnya stereotipe negatif dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu dilekatkan pada genre kesenian ini, Tayub. Kesenian yang menjadikan unsur perempuan sebagai unsur dominan memang masih dianggap sebagai sebuah cacat bagi struktur sosial masyarakat Indonesia yang budaya patriark-nya sangat kuat. Dalam konteks inilah, perempuan dalam masyarakat patriark selalu diletakkan pada tempat yang inferior, sementara para lelakinya di tempat yang lebih superior.
Stereotipe negatif inilah yang menjadikan kesenian Tayub semakin termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat Jawa dewasa ini. Kalaupun tidak, esensi dari seni Tayub telah luntur, hilang diterpa arus zaman. Dengan kata lain, kesenian yang pada awalnya berfungsi sebagai sebuah hiburan yang bernuansa seni estetis dengan nilai-nilai budaya adiluhung ini telah beralih fungsi menjadi kesenian erotis yang hanya berfungsi sebagai pemuas nafsu belaka. Dengan menonjolkan sisi-sisi tertentu, misalnya sisi sensitif pada wanita, seperti “maaf” bagian dada pada wanita yang agak terbuka. Maka, kita-pun sering melihat tarian ini tak lagi menampilkan esensinya. Syair-syair yang pada awalnya berisi nasehat bijak berubah menjadi lagu-lagu yang berkonotasi negatif.
Padahal, dalam kajian etimologi, Tayub bermakna “ditata ben guyub” , diatur agar tercipta kerukunan. Makna ini merupakan esensi kesenian Tayub yang harus ditampilkan. Namun, citra buruk ataupun stereotipe negatif yang telah dilekatkan pada Tayub seakan mendarah daging dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Tayub bagi masyarakat luas, hanya dipandang dari sisi negatifnya, menjadi sebuah kesenian mesum, berkualitas rendah dan bertendensi erotis. Realitas inilah yang semakin menyudutkan kesenian Tayub, sehingga cap berkesenian dalam wujud para pelaku seni Tayub, yakni penari Tayub (ledhek) dan penabuh gamelan merupakan berkesenian yang tidak berseni.
Dimensi Mistis
Pada umumnya, banyak sekali kesenian Jawa yang bernuansa mistis, salah satunya adalah Tayub. Konon, para wanita penari Tayub menggunakan medium ataupun cara-cara mistis, seperti penggunaan susuk sebagai alat daya pikat dalam menarik para audiens atau penonton. Terlebih, para audiens-nya adalah kaum lak-laki. Entah benar atau tidak, toh kenyataannya, dalam kesenian Tayub memang menyimpan dimensi mistis. Dimensi mistis ini terletak pada unit gamelan Jawa yang digunakan sebagai musik pengiring tarian Tayub. Dalam masyarakat Jawa, pembuatan dan perawatan unit gamelan selalu menjadi ritual yang disakralkan. Misalnya, dimensi mistis ini telah terwakili oleh tradisi Sekaten di keraton Yogyakarta. Dalam upara Sekaten, dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) menjadi simbol dilaksanakannya upacara sakral itu.
Dimensi mistis pada kesenian Tayub, pada akhirnya menghantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa kesenian ini lebih tepat dikatakan sebagai kesenian rakyat daripada kesenian keraton. Simbol magis dan mistis yang ada dalam kesenian ini merupakan ciri khas dari kultur kaum abangan, yakni masyarakat pinggiran yang kultur religiusitasnya tidaklah kuat. Pengertian yang demikian, secara implisit berarti bahwa kesenian ini memang tidak dapat diterima dan berkembang dalam masyarakat luas. Artinya, kesenian ini hanya dapat tumbuh dalam lokus yang terbatas. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kesenian ini tidak layak disebut sebagai sebuah entitas kesenian. Sebab, bagaimanapun, menurut Kuntowijoyo, yang dinamakan kesenian adalah karya ataupun tradisi yang lahir dari suatu kelompok tertentu.
Sementara itu, Ignas Kleden mendefinisikan kesenian sebagai sebuah karya seni yang mengandung unsur hiburan serta sarat akan nilai dan norma pada masyarakat. Jadi, apabila merujuk pada pemikiran Ignas, asalkan kesenian ini tetap mempertahankan esensinya yang lekat dengan nilai dan norma orang Jawa, tentunya Tayub menjadi sangat layak diklaim sebagai sebuah kesenian.
Selain itu, Tayub juga dapat dikatakan sebagai bentuk seni perlawanan perempuan Jawa. Setidaknya, lewat kesenian Tayub, para penari Tayub bisa sejenak terlepas dari jerat kultur sosial patriark pada masyarakat Jawa. Dengan upah yang diterimanya, perempuan penari Tayub menjelma sebagai pribadi yang lebih mandiri dibandingkan dengan perempuan Jawa pada umumnya yang hanya meminta uang dari sang pria (suaminya). Tidak hanya itu, Tayub sebenarnya juga bisa menjadi ajang untuk saling bersosialisasi di tengah masyarakat. Kedekatan para penari dengan audiensnya telah menghilangkan jurang pemisah. Mereka seakan terikat dalam sebuah emosi kesenian. Lantas, pertanyaannya, apakah berbagai nilai-nilai tersebut masih dapat bertahan? Barangkali, hanya perjalanan waktulah yang dapat menjawabnya. Meskipun demikian, kita harus tetap berusaha untuk menjaga dan melestarikan seni tari Tayub sebagai salah satu khasanah budaya milik bangsa.
sumber : iyanfukuyama.multiply
Ajakan joget dari sang wanita penari Tayub ini disimbolkan dengan peletakan selendang pada leher penonton laki-laki. Para lelaki yang telah diikat dengan seledang pada lehernya tidak dapat menolak ajakan si penari. Atas jasanya, kemudian para penari tayub akan mendapatkan uang/sawer. Semakin banyak sawer yang diberikan, maka si penari Tayub semakin lama berjogetnya. Mereka terus menari dengan diiringi satu unit musik gamelan Jawa berupa ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang dan angklung. Selain itu, para penari Tayub biasanya juga mendendangkan lagu-lagu ataupun syair-syair Jawa seperti gurindam yang berisi nasehat-nasehat bijak, seperi nasehat untuk membina rumah tangga dengan baik.
Sejarah mencatat, kesenian Tayub pertama kali muncul di kalangan masyarakat Blora, Jawa Tengah. Kesenian ini menjadi ajang hiburan masyarakat Blora yang notabene sebagian besar adalah para petani. Masyarakat petani yang cenderung memiliki pola hidup dan pikir tradisional, dalam konteks ini lebih menggemari kesenian lokal-tradisional daripada kesenian modern kaum urban. Namun, apakah kesenian tayub merupakan hasil dari kesenian rakyat? Pertanyaan ini, setidaknya akan mengantarkan kita pada teori yang digagas oleh Clifford Geertz.
Jika kita mengikuti kategori sosial yang digagas oleh Clifford Geertz dalam bukunya “The Religion Of Java”, maka kesenian ini dapat digolongkan sebagai kesenian milik kaum priyayi. Kaum priyayi di sini adalah mereka yang memiliki garis keturunan dari para keluarga bangsawan keraton Jawa, yakni kesunanan Yogyakarta dan Surakarta. Sudah bukan rahasia apabila kesenian yang dianggap cukup representatif untuk mewakili masyarakat Jawa secara keseluruhan adalah kesenian yang dihasilkan oleh pihak keraton. Sementara itu, kesenian yang lahir dari rahim kaum alit, rakyat kecil tidak cukup representatif sehingga kesenian mereka lebih seringkali dimarjinalkan. Artinya, kesenian yang dihasilkan oleh rakyat kecil seringkali tidak mendapatkan pengakuan, terutama dari pihak keraton.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Kuntowijoyo lebih memaknai kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi sebagai sebuah legitimasi bagi kekuasaan keraton. Dalam konteks ini, menurut interpretasi penulis, kesenian dapat digolongkan menjadi dua bentuk. Pertama, kesenian yang memiliki pola. Dalam kategori ini, kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi lebih terpola dan terstruktur dibandingkan dengan kesenian kaum alit. Kedua, kesenian yang tidak berpola. Dalam konteks ini, kesenian rakyat-lah yang dianggap tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini tercermin dari bahasa dan simbol yang digunakan kaum alit yang jauh dari budaya keraton yang ketat. Terlepas dari apakah kesenian Tayub juga merupakan wujud nyata adanya legitimasi dari kaum bangsawan, Tayub tetap-lah sebuah kesenian yang estetis yang layak diklaim sebagai kesenian dalam konteks Jawa. Sebab realitanya kesenian ini memang telah menjadi primadona di kalangan rakyat Jawa, khususnya rakyat pinggiran.
Sungguhpun demikian, yang patut disayangkan adalah munculnya stereotipe negatif dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu dilekatkan pada genre kesenian ini, Tayub. Kesenian yang menjadikan unsur perempuan sebagai unsur dominan memang masih dianggap sebagai sebuah cacat bagi struktur sosial masyarakat Indonesia yang budaya patriark-nya sangat kuat. Dalam konteks inilah, perempuan dalam masyarakat patriark selalu diletakkan pada tempat yang inferior, sementara para lelakinya di tempat yang lebih superior.
Stereotipe negatif inilah yang menjadikan kesenian Tayub semakin termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat Jawa dewasa ini. Kalaupun tidak, esensi dari seni Tayub telah luntur, hilang diterpa arus zaman. Dengan kata lain, kesenian yang pada awalnya berfungsi sebagai sebuah hiburan yang bernuansa seni estetis dengan nilai-nilai budaya adiluhung ini telah beralih fungsi menjadi kesenian erotis yang hanya berfungsi sebagai pemuas nafsu belaka. Dengan menonjolkan sisi-sisi tertentu, misalnya sisi sensitif pada wanita, seperti “maaf” bagian dada pada wanita yang agak terbuka. Maka, kita-pun sering melihat tarian ini tak lagi menampilkan esensinya. Syair-syair yang pada awalnya berisi nasehat bijak berubah menjadi lagu-lagu yang berkonotasi negatif.
Padahal, dalam kajian etimologi, Tayub bermakna “ditata ben guyub” , diatur agar tercipta kerukunan. Makna ini merupakan esensi kesenian Tayub yang harus ditampilkan. Namun, citra buruk ataupun stereotipe negatif yang telah dilekatkan pada Tayub seakan mendarah daging dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Tayub bagi masyarakat luas, hanya dipandang dari sisi negatifnya, menjadi sebuah kesenian mesum, berkualitas rendah dan bertendensi erotis. Realitas inilah yang semakin menyudutkan kesenian Tayub, sehingga cap berkesenian dalam wujud para pelaku seni Tayub, yakni penari Tayub (ledhek) dan penabuh gamelan merupakan berkesenian yang tidak berseni.
Dimensi Mistis
Pada umumnya, banyak sekali kesenian Jawa yang bernuansa mistis, salah satunya adalah Tayub. Konon, para wanita penari Tayub menggunakan medium ataupun cara-cara mistis, seperti penggunaan susuk sebagai alat daya pikat dalam menarik para audiens atau penonton. Terlebih, para audiens-nya adalah kaum lak-laki. Entah benar atau tidak, toh kenyataannya, dalam kesenian Tayub memang menyimpan dimensi mistis. Dimensi mistis ini terletak pada unit gamelan Jawa yang digunakan sebagai musik pengiring tarian Tayub. Dalam masyarakat Jawa, pembuatan dan perawatan unit gamelan selalu menjadi ritual yang disakralkan. Misalnya, dimensi mistis ini telah terwakili oleh tradisi Sekaten di keraton Yogyakarta. Dalam upara Sekaten, dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) menjadi simbol dilaksanakannya upacara sakral itu.
Dimensi mistis pada kesenian Tayub, pada akhirnya menghantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa kesenian ini lebih tepat dikatakan sebagai kesenian rakyat daripada kesenian keraton. Simbol magis dan mistis yang ada dalam kesenian ini merupakan ciri khas dari kultur kaum abangan, yakni masyarakat pinggiran yang kultur religiusitasnya tidaklah kuat. Pengertian yang demikian, secara implisit berarti bahwa kesenian ini memang tidak dapat diterima dan berkembang dalam masyarakat luas. Artinya, kesenian ini hanya dapat tumbuh dalam lokus yang terbatas. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kesenian ini tidak layak disebut sebagai sebuah entitas kesenian. Sebab, bagaimanapun, menurut Kuntowijoyo, yang dinamakan kesenian adalah karya ataupun tradisi yang lahir dari suatu kelompok tertentu.
Sementara itu, Ignas Kleden mendefinisikan kesenian sebagai sebuah karya seni yang mengandung unsur hiburan serta sarat akan nilai dan norma pada masyarakat. Jadi, apabila merujuk pada pemikiran Ignas, asalkan kesenian ini tetap mempertahankan esensinya yang lekat dengan nilai dan norma orang Jawa, tentunya Tayub menjadi sangat layak diklaim sebagai sebuah kesenian.
Selain itu, Tayub juga dapat dikatakan sebagai bentuk seni perlawanan perempuan Jawa. Setidaknya, lewat kesenian Tayub, para penari Tayub bisa sejenak terlepas dari jerat kultur sosial patriark pada masyarakat Jawa. Dengan upah yang diterimanya, perempuan penari Tayub menjelma sebagai pribadi yang lebih mandiri dibandingkan dengan perempuan Jawa pada umumnya yang hanya meminta uang dari sang pria (suaminya). Tidak hanya itu, Tayub sebenarnya juga bisa menjadi ajang untuk saling bersosialisasi di tengah masyarakat. Kedekatan para penari dengan audiensnya telah menghilangkan jurang pemisah. Mereka seakan terikat dalam sebuah emosi kesenian. Lantas, pertanyaannya, apakah berbagai nilai-nilai tersebut masih dapat bertahan? Barangkali, hanya perjalanan waktulah yang dapat menjawabnya. Meskipun demikian, kita harus tetap berusaha untuk menjaga dan melestarikan seni tari Tayub sebagai salah satu khasanah budaya milik bangsa.
sumber : iyanfukuyama.multiply
Tanjidor
OrkesTanjidor sudah tumbuh sejak abad ke 19, berkembang di daerah pinggiran. Menurut beberapa keterangan, orkes itu berasal dari orkes yang semula dibina dalarn lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, dekat Cibinong.
Pada umumnya alat-alat musik pada orkes Tanjidor terdiri dari alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang. Dengan peralatan tersebut cukup untuk mengiringi pawai atau mengarak pengantin.
Untuk pergelaran terutama yang ditempat dan tidak bergerak alat-alatnya sering kali ditambah dengan alat gesek seperti tehyan, dan beberapa membranfon seperti rebana, bedug dan gendang, ditambah pula dengan beberapa alat perkusi seperti kecrek, kempul dan gong.
Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor, menurut istilah setempat adalah “Batalion”, “Kramton” “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak-tak”, “Cakranegara”, dan “Welmes”. Pada perkembangan kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang “Jali-jali dan sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan lagu-lagu Sunda gunung, seperti “Kangaji”, “Oncomlele” dan sebagainya.
Grup-grup Tanjidor yang berada di wilayah DKI Jakarta antara lain dari Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokranggon pimpinan Maun, Ceger pimpinan Gejen.
Daerah penyebaran Tanjidor, kecuali di daerah pinggiran kota Jakarta, adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.
Sebagai kesenian rakyat, pendukung orkes Tanjidor terutama para petani di daerah pinggiran. Pada umumnya seniman Tanjidor tidak dapat rnengandalkan nafkahnya dari hasil yang diperoleh dari bidang seninya. Kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, atau berdagang kecil-kecilan.
Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling, istilahnya “Ngamen”. Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.
Perlu dikemukakan, bahwa sesuai dengan perkembangan jaman dan selera masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang dikenal dengan sebutan “Winingan tanji”.
sumber : budayaindonesia
Pada umumnya alat-alat musik pada orkes Tanjidor terdiri dari alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang. Dengan peralatan tersebut cukup untuk mengiringi pawai atau mengarak pengantin.
Untuk pergelaran terutama yang ditempat dan tidak bergerak alat-alatnya sering kali ditambah dengan alat gesek seperti tehyan, dan beberapa membranfon seperti rebana, bedug dan gendang, ditambah pula dengan beberapa alat perkusi seperti kecrek, kempul dan gong.
Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor, menurut istilah setempat adalah “Batalion”, “Kramton” “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak-tak”, “Cakranegara”, dan “Welmes”. Pada perkembangan kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang “Jali-jali dan sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan lagu-lagu Sunda gunung, seperti “Kangaji”, “Oncomlele” dan sebagainya.
Grup-grup Tanjidor yang berada di wilayah DKI Jakarta antara lain dari Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokranggon pimpinan Maun, Ceger pimpinan Gejen.
Daerah penyebaran Tanjidor, kecuali di daerah pinggiran kota Jakarta, adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.
Sebagai kesenian rakyat, pendukung orkes Tanjidor terutama para petani di daerah pinggiran. Pada umumnya seniman Tanjidor tidak dapat rnengandalkan nafkahnya dari hasil yang diperoleh dari bidang seninya. Kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, atau berdagang kecil-kecilan.
Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling, istilahnya “Ngamen”. Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.
Perlu dikemukakan, bahwa sesuai dengan perkembangan jaman dan selera masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang dikenal dengan sebutan “Winingan tanji”.
sumber : budayaindonesia
Sejarah Batavia
Batavia sebelum itu bernama Jayakarta dan sebelumnya lagi Sunda Kelapa, adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada kota yang sekarang bernama Jakarta, ibu kota Indonesia. Kota ini merupakan pelabuhan yang menjadi basis perdagangan dan kubu militer VOC.
Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, setelah itu nama kota berubah menjadi Jakarta. Tetapi bentuknya dalam bahasa Melayu, yaitu "Betawi", masih tetap dipakai sampai sekarang.
Nama Batavia berasal dari kata Batavieren, salah satu nama suku di Belanda atau suku bangsa Jerman yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda.
Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar buatan Belanda (VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinakhodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama Betawi- Batavia, atau bahkan sebaliknya, pihak VOC yang menggunakan nama Batavia untuk menamai kapalnya. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavieren.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1]. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].
Suasana pelabuhan Batavia sekitar tahun 1940
Suasana pelabuhan Batavia sekitar tahun 1940
Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.
sumber : forumbebas
Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, setelah itu nama kota berubah menjadi Jakarta. Tetapi bentuknya dalam bahasa Melayu, yaitu "Betawi", masih tetap dipakai sampai sekarang.
Nama Batavia berasal dari kata Batavieren, salah satu nama suku di Belanda atau suku bangsa Jerman yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda.
Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar buatan Belanda (VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinakhodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama Betawi- Batavia, atau bahkan sebaliknya, pihak VOC yang menggunakan nama Batavia untuk menamai kapalnya. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavieren.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1]. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].
Suasana pelabuhan Batavia sekitar tahun 1940
Suasana pelabuhan Batavia sekitar tahun 1940
Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.
sumber : forumbebas
Merubah Sampah Jadi Emas
Peluang Bisnis Tanpa Modal, akan membahas apa aja yang bisa merubah sampah jadi emas itu. Apa mungkin sampah bisa jadi Peluang Emas. Mari kita teruskan liku-liku Peluang Usaha merubah sampah jadi Emas, Walaupun bisnis ini bisa dilakukan tanpa Modal sepeser pun.
Nah apakah anda tidak percaya sampah bisa jadi emas? Kalau tidak percaya wajar aja. Karena memahami kalimat secara Leterleg (apa adanya) Coba secara mendetail, yang mana seperti haji Sukri yang notabene Konglomerat dari hasil bisnis sampahnya. Maka dia bisa membeli satu bahkan seratus kilogram emas mungkin. Nah kemampuan inilah yang bisa menghasilkan emas. Artinya hasil jual dari Bisnis Tanpa Modal ini kita bisa belikan Emas.Supaya berkembang nalar pemahaman kita semua kita dituntut kreatif untuk bisa menghasilkan karya yang bermutu.
Untuk mengembangkan kreativitas dan wawasan bisnis. Inilah berapa masukan agar sampah bisa menjadi lahan emas:
1. Anda bisa mengumpulkan dirumah beberapa sampah yang punya nilai jual tinggi seperti sampah logam dan plastik. Misal sampah logam perkigramnya Rp. 2.000,- bagaimana kalau anda punya 1 ton. Sudah bisa jadi jutawan rasanya anda. Kalau mengumpulkan logam hingga 1 Ton.
2. Bisnis Pupuk Kompos / Kandang Anda bisa membuat sendiri dengan Gratis Pupuk jenis ini. Jika produksi Kompos anda bagus, maka hasilnya bisa dijual. Terbukti banyak sekali di Kota-kota besar menjual pupuk kompos, dan ini juga bisa jadi lahan emas. Tingal bisa kreatif tidak mengolahnya hingga siap jual ?
3. Sampah bisa jadi hiasan dinding yang menarik. Atau untuk asesoris seperti kalung, gelang dan bahkan bisa dibuat sandal, dan lain sebagainya.
4. Sampah elektronik banyak mengandung Logam Mulia. Sehingga saya pernah menjumpai seseorang yang ahli akan jenis logam ini. ternyata di Sampah Elektronik ini masih bisa menghasilkan uang yang melimpah, seperti kuningan, tembaga, perunggu, perak, dan bahkan emas kemungkinan besar ada di sampah elektronik. Jika anda ahli akan logam silahkan dibuktikan. Karena ada salah seorang di surabanya pekerjaannya memisahkan logam aslinya dengan lapisan elektronik menggunakan cairan kimia, konon dia mengambil emasnya atau logam mulia yang lainnya. Sekali lagi ini menuntut kreatifitas yang tinggi.
Sampai disini semua itu menuntut keahlian dan kreatifitas kita. Anda termasuk punya kreatifitas yang mana dan itulah yang bisa dimanfaatkan menjadi lahan emas kita sendiri. Meskipun bisnis dari sampah ini Tanpa Modal tetap kita harus kerja keras dan selalu inovatif jika ingin mengembangkannya menjadi prefesional dalam pengolahan sampah ini.
sumber : tanya jawab bisnis
Nah apakah anda tidak percaya sampah bisa jadi emas? Kalau tidak percaya wajar aja. Karena memahami kalimat secara Leterleg (apa adanya) Coba secara mendetail, yang mana seperti haji Sukri yang notabene Konglomerat dari hasil bisnis sampahnya. Maka dia bisa membeli satu bahkan seratus kilogram emas mungkin. Nah kemampuan inilah yang bisa menghasilkan emas. Artinya hasil jual dari Bisnis Tanpa Modal ini kita bisa belikan Emas.Supaya berkembang nalar pemahaman kita semua kita dituntut kreatif untuk bisa menghasilkan karya yang bermutu.
Untuk mengembangkan kreativitas dan wawasan bisnis. Inilah berapa masukan agar sampah bisa menjadi lahan emas:
1. Anda bisa mengumpulkan dirumah beberapa sampah yang punya nilai jual tinggi seperti sampah logam dan plastik. Misal sampah logam perkigramnya Rp. 2.000,- bagaimana kalau anda punya 1 ton. Sudah bisa jadi jutawan rasanya anda. Kalau mengumpulkan logam hingga 1 Ton.
2. Bisnis Pupuk Kompos / Kandang Anda bisa membuat sendiri dengan Gratis Pupuk jenis ini. Jika produksi Kompos anda bagus, maka hasilnya bisa dijual. Terbukti banyak sekali di Kota-kota besar menjual pupuk kompos, dan ini juga bisa jadi lahan emas. Tingal bisa kreatif tidak mengolahnya hingga siap jual ?
3. Sampah bisa jadi hiasan dinding yang menarik. Atau untuk asesoris seperti kalung, gelang dan bahkan bisa dibuat sandal, dan lain sebagainya.
4. Sampah elektronik banyak mengandung Logam Mulia. Sehingga saya pernah menjumpai seseorang yang ahli akan jenis logam ini. ternyata di Sampah Elektronik ini masih bisa menghasilkan uang yang melimpah, seperti kuningan, tembaga, perunggu, perak, dan bahkan emas kemungkinan besar ada di sampah elektronik. Jika anda ahli akan logam silahkan dibuktikan. Karena ada salah seorang di surabanya pekerjaannya memisahkan logam aslinya dengan lapisan elektronik menggunakan cairan kimia, konon dia mengambil emasnya atau logam mulia yang lainnya. Sekali lagi ini menuntut kreatifitas yang tinggi.
Sampai disini semua itu menuntut keahlian dan kreatifitas kita. Anda termasuk punya kreatifitas yang mana dan itulah yang bisa dimanfaatkan menjadi lahan emas kita sendiri. Meskipun bisnis dari sampah ini Tanpa Modal tetap kita harus kerja keras dan selalu inovatif jika ingin mengembangkannya menjadi prefesional dalam pengolahan sampah ini.
sumber : tanya jawab bisnis
Sejarah monas
Monas atau Monumen Nasional merupakan icon kota Jakarta. Terletak di pusat kota Jakarta, menjadi tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Monas didirikan pada tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian pada tahun 1961.
Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir. Rooseno. Pada tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dan mulai dibuka untuk umum sejak tanggal 12 Juli 1975.
Sedangkan wilayah taman hutan kota di sekitar Monas dahulu dikenal dengan nama Lapangan Gambir. Kemudian sempat berubah nama beberapa kali menjadi Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas dan kemudian menjadi Taman Monas.
1. Ukuran dan Isi Monas
Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.
2. Lidah Api
Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.
3. Pelataran Puncak
Pelataran puncak luasnya 11×11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.
4. Pelataran Bawah
Pelataran bawah luasnya 45×45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.
5. Museum Sejarah Perjuangan Nasional
Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu MuseumNasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80×80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.
sumber : sejarah kompasiana
Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh para arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban dan Ir. Rooseno. Pada tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno. Dan mulai dibuka untuk umum sejak tanggal 12 Juli 1975.
Sedangkan wilayah taman hutan kota di sekitar Monas dahulu dikenal dengan nama Lapangan Gambir. Kemudian sempat berubah nama beberapa kali menjadi Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas dan kemudian menjadi Taman Monas.
1. Ukuran dan Isi Monas
Monas dibangun setinggi 132 meter dan berbentuk lingga yoni. Seluruh bangunan ini dilapisi oleh marmer.
2. Lidah Api
Di bagian puncak terdapat cawan yang di atasnya terdapat lidah api dari perunggu yang tingginya 17 meter dan diameter 6 meter dengan berat 14,5 ton. Lidah api ini dilapisi emas seberat 45 kg. Lidah api Monas terdiri atas 77 bagian yang disatukan.
3. Pelataran Puncak
Pelataran puncak luasnya 11×11 m. Untuk mencapai pelataran puncak, pengunjung bisa menggunakan lift dengan lama perjalanan sekitar 3 menit. Di sekeliling lift terdapat tangga darurat. Dari pelataran puncak Monas, pengunjung bisa melihat gedung-gedung pencakar langit di kota Jakarta. Bahkan jika udara cerah, pengunjung dapat melihat Gunung Salak di Jawa Barat maupun Laut Jawa dengan Kepulauan Seribu.
4. Pelataran Bawah
Pelataran bawah luasnya 45×45 m. Tinggi dari dasar Monas ke pelataran bawah yaitu 17 meter. Di bagian ini pengunjung dapat melihat Taman Monas yang merupakan hutan kota yang indah.
5. Museum Sejarah Perjuangan Nasional
Di bagian bawah Monas terdapat sebuah ruangan yang luas yaitu MuseumNasional. Tingginya yaitu 8 meter. Museum ini menampilkan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Luas dari museum ini adalah 80×80 m. Pada keempat sisi museum terdapat 12 diorama (jendela peragaan) yang menampilkan sejarah Indonesia dari jaman kerajaan-kerajaan nenek moyang Bangsa Indonesia hingga G30S PKI.
sumber : sejarah kompasiana
Sejarah marawis
Marawis adalah nama bagi sebuah alat musik tradisional yang dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu yang saratdengan pesan-pesan dakwah Islam dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Hingga kini belum ditemukan adanya penelitian ilmiah-historis ataupin data yang memadai untuk menjadikan bahan rujukan kapan sebetulnya kesenian Marawos ini berkembang dan siapa yang memeloporinya.
Sumber-sumber yang bisa menjadi rujukan histori marawis baru terbatas pada sumber-sumber lisan (oral). Konon kabarnya, Marawis dipopulerkan oleh para Haba’ib (anak cucu keturuna rasulullah SAW) dan merupakan produk kebudayaan bangsa Arab. Tak Heran, bila lagu-lagu padang pasir (baca:berbahasa Arab).
Secara Umum, dapat dikatakan bahwa marawis pada awalnya merupakan inovasu cara berdakwah umat Islam denga pencapuran kebudayaan (akultirasi). Cara-cara berdakwah seperti ini (baca : mengguanakan kesenian dan proses akulturasi) sebetulnya juga pernah diterapkan beberapa abad yang silam oleh para Wali Songo sebagai penyebaran Islam di tana jawa, seperti Sunan Bonang yang terkenal dengan Bonang-nya, Sunan Kalijaga dengan lagu ilir-ilirnya dan Sunan Ampel dengan lagu Tombo Ati-nya.
Seiring perkembangan zaman, kesenian marawis ini dikembangkan dan dilengkpi dengan menggunakan alat musik modern seperti gitar elekrik, organ , cymbal, drum, suling dll. Marawis pls alat-lat musik modern ini kemudian diistilahkan oleh banyak pelakunya sebagai kesenian Gambus.
sumber : al-awwabin
Sumber-sumber yang bisa menjadi rujukan histori marawis baru terbatas pada sumber-sumber lisan (oral). Konon kabarnya, Marawis dipopulerkan oleh para Haba’ib (anak cucu keturuna rasulullah SAW) dan merupakan produk kebudayaan bangsa Arab. Tak Heran, bila lagu-lagu padang pasir (baca:berbahasa Arab).
Secara Umum, dapat dikatakan bahwa marawis pada awalnya merupakan inovasu cara berdakwah umat Islam denga pencapuran kebudayaan (akultirasi). Cara-cara berdakwah seperti ini (baca : mengguanakan kesenian dan proses akulturasi) sebetulnya juga pernah diterapkan beberapa abad yang silam oleh para Wali Songo sebagai penyebaran Islam di tana jawa, seperti Sunan Bonang yang terkenal dengan Bonang-nya, Sunan Kalijaga dengan lagu ilir-ilirnya dan Sunan Ampel dengan lagu Tombo Ati-nya.
Seiring perkembangan zaman, kesenian marawis ini dikembangkan dan dilengkpi dengan menggunakan alat musik modern seperti gitar elekrik, organ , cymbal, drum, suling dll. Marawis pls alat-lat musik modern ini kemudian diistilahkan oleh banyak pelakunya sebagai kesenian Gambus.
sumber : al-awwabin
Dodol Betawi Khas
Dodol ataupun jenang sering identik dengan makanan khas Betawi, Garut dan Purwokerto. Namun, dodol merupakan sejenis makanan yang dikategorikan dalam jenis makanan ringan dan manis. Cukup sulit, membuat dodol yang benar-benar menghasilkan kenikmatan yang berkualitas tinggi, proses pembuatan yang lama serta keahlian yang tinggi pula.
Sebagai Ibukota Negara RI, Jakarta memiliki oleh-oleh yang demikian itu, Dodol Betawi. Masyarakat Betawi sangat antusias dalam menanggapi persoalan makanan manis ini. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, garam, gula pasir, tepung beras dan gula merah.
Condet, salah satu wilayah yang dijadikan sebagai pusat Cagar Budaya Betawi pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin sejak 1976, merupakan perwujudan makanan masyarakat Betawi yang bercirikhas seperti dodol dan masih ada banyak lagi tempat di Jakarta yang menyajikan makanan khas dodol.
sumber : media indonesia
Sebagai Ibukota Negara RI, Jakarta memiliki oleh-oleh yang demikian itu, Dodol Betawi. Masyarakat Betawi sangat antusias dalam menanggapi persoalan makanan manis ini. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, garam, gula pasir, tepung beras dan gula merah.
Condet, salah satu wilayah yang dijadikan sebagai pusat Cagar Budaya Betawi pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin sejak 1976, merupakan perwujudan makanan masyarakat Betawi yang bercirikhas seperti dodol dan masih ada banyak lagi tempat di Jakarta yang menyajikan makanan khas dodol.
sumber : media indonesia
Keunikan Ondel-ondel Betawi
Masyarakat Betawi sudah hampir kehilangan seni budayanya. Salah satunya adalah Topeng Betawi atau yang dikenal dengan adegan lenong. Untuk itu perlu Anda cermati bagaimana perkembangan sejarah terbentuknya kesenian ini.
Kesenian rakyat topeng Betawi mengawinkan budaya Melayu, Sunda, dan China. Salah satu tokoh yang terkenal sejak 1970-an adalah Bokir dengan grupnya yang sering pentas, Setia Warga. Pertunjukan itu biasanya diawali dengan tarian Kembang Topeng yang menampilkan banyak penari perempuan.
Sekarang, tarian itu diganti dengan Ronggeng Topeng. Ada interaksi antara penari dan penonton. Selain lewat komentar usil atau celetukan, juga lewat saweran atau memberi uang tips kepada para penari perempuan oleh penonton lelaki.
Ondel-ondel juga nyaris hilang dalam perhelatan JAA 2008. Padahal inilah kesenian rakyat Betawi yang paling populer dari waktu ke waktu. Bahkan ondel-ondel dianggap sebagai maskot yang menandai kebudayaan Betawi masih ada dan mampu bergaya.
Ondel-ondel berbentuk dua patung besar berongga menyerupai sosok lelaki dan perempuan. Patung diusung orang pada bagian dalamnya dan digerak-gerakkan seperti manusia. Ondel-ondel diilhami barong landung dalam budaya Hindu Bali yang menggambarkan pengantin Raja Bali dan Putri China. Kepopuleran ondel-ondel juga disulut pula oleh lagu Benyamin Suaeb, Yuk kite nonton ondel ondel. Yuuuk!
Sumber: media indonesia
Kesenian rakyat topeng Betawi mengawinkan budaya Melayu, Sunda, dan China. Salah satu tokoh yang terkenal sejak 1970-an adalah Bokir dengan grupnya yang sering pentas, Setia Warga. Pertunjukan itu biasanya diawali dengan tarian Kembang Topeng yang menampilkan banyak penari perempuan.
Sekarang, tarian itu diganti dengan Ronggeng Topeng. Ada interaksi antara penari dan penonton. Selain lewat komentar usil atau celetukan, juga lewat saweran atau memberi uang tips kepada para penari perempuan oleh penonton lelaki.
Ondel-ondel juga nyaris hilang dalam perhelatan JAA 2008. Padahal inilah kesenian rakyat Betawi yang paling populer dari waktu ke waktu. Bahkan ondel-ondel dianggap sebagai maskot yang menandai kebudayaan Betawi masih ada dan mampu bergaya.
Ondel-ondel berbentuk dua patung besar berongga menyerupai sosok lelaki dan perempuan. Patung diusung orang pada bagian dalamnya dan digerak-gerakkan seperti manusia. Ondel-ondel diilhami barong landung dalam budaya Hindu Bali yang menggambarkan pengantin Raja Bali dan Putri China. Kepopuleran ondel-ondel juga disulut pula oleh lagu Benyamin Suaeb, Yuk kite nonton ondel ondel. Yuuuk!
Sumber: media indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)