Minggu, 01 Mei 2011

Tayub

Tayub atau tayuban adalah kesenian tradisional khas suku Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tayub merupakan istilah yang digunakan oleh orang Jawa dalam sebuah seni tari. Kesenian ini sangat populer di kalangan masyarakat Jawa karena tampilannya yang atraktif, dinamis, estetis dan ekspresif. Tari Tayub adalah seni tari yang menjadikan perempuan sebagai unsur dominan. Dengan menggunakan pakaian khas orang Jawa tempo dulu, seperti penggunaan Jarit (kain panjang untuk pakaian bawahan) serta selendang yang terikat dileher, para perempuan penari tayub menari dengan begitu lemah gemulai untuk menghibur dan mengajak berjoget para penonton. Para penonton di sini sebagian besar adalah kaum lelaki.

Ajakan joget dari sang wanita penari Tayub ini disimbolkan dengan peletakan selendang pada leher penonton laki-laki. Para lelaki yang telah diikat dengan seledang pada lehernya tidak dapat menolak ajakan si penari. Atas jasanya, kemudian para penari tayub akan mendapatkan uang/sawer. Semakin banyak sawer yang diberikan, maka si penari Tayub semakin lama berjogetnya. Mereka terus menari dengan diiringi satu unit musik gamelan Jawa berupa ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang dan angklung. Selain itu, para penari Tayub biasanya juga mendendangkan lagu-lagu ataupun syair-syair Jawa seperti gurindam yang berisi nasehat-nasehat bijak, seperi nasehat untuk membina rumah tangga dengan baik.

Sejarah mencatat, kesenian Tayub pertama kali muncul di kalangan masyarakat Blora, Jawa Tengah. Kesenian ini menjadi ajang hiburan masyarakat Blora yang notabene sebagian besar adalah para petani. Masyarakat petani yang cenderung memiliki pola hidup dan pikir tradisional, dalam konteks ini lebih menggemari kesenian lokal-tradisional daripada kesenian modern kaum urban. Namun, apakah kesenian tayub merupakan hasil dari kesenian rakyat? Pertanyaan ini, setidaknya akan mengantarkan kita pada teori yang digagas oleh Clifford Geertz.

Jika kita mengikuti kategori sosial yang digagas oleh Clifford Geertz dalam bukunya “The Religion Of Java”, maka kesenian ini dapat digolongkan sebagai kesenian milik kaum priyayi. Kaum priyayi di sini adalah mereka yang memiliki garis keturunan dari para keluarga bangsawan keraton Jawa, yakni kesunanan Yogyakarta dan Surakarta. Sudah bukan rahasia apabila kesenian yang dianggap cukup representatif untuk mewakili masyarakat Jawa secara keseluruhan adalah kesenian yang dihasilkan oleh pihak keraton. Sementara itu, kesenian yang lahir dari rahim kaum alit, rakyat kecil tidak cukup representatif sehingga kesenian mereka lebih seringkali dimarjinalkan. Artinya, kesenian yang dihasilkan oleh rakyat kecil seringkali tidak mendapatkan pengakuan, terutama dari pihak keraton.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Kuntowijoyo lebih memaknai kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi sebagai sebuah legitimasi bagi kekuasaan keraton. Dalam konteks ini, menurut interpretasi penulis, kesenian dapat digolongkan menjadi dua bentuk. Pertama, kesenian yang memiliki pola. Dalam kategori ini, kesenian yang lahir dari rahim kaum priyayi lebih terpola dan terstruktur dibandingkan dengan kesenian kaum alit. Kedua, kesenian yang tidak berpola. Dalam konteks ini, kesenian rakyat-lah yang dianggap tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini tercermin dari bahasa dan simbol yang digunakan kaum alit yang jauh dari budaya keraton yang ketat. Terlepas dari apakah kesenian Tayub juga merupakan wujud nyata adanya legitimasi dari kaum bangsawan, Tayub tetap-lah sebuah kesenian yang estetis yang layak diklaim sebagai kesenian dalam konteks Jawa. Sebab realitanya kesenian ini memang telah menjadi primadona di kalangan rakyat Jawa, khususnya rakyat pinggiran.

Sungguhpun demikian, yang patut disayangkan adalah munculnya stereotipe negatif dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu dilekatkan pada genre kesenian ini, Tayub. Kesenian yang menjadikan unsur perempuan sebagai unsur dominan memang masih dianggap sebagai sebuah cacat bagi struktur sosial masyarakat Indonesia yang budaya patriark-nya sangat kuat. Dalam konteks inilah, perempuan dalam masyarakat patriark selalu diletakkan pada tempat yang inferior, sementara para lelakinya di tempat yang lebih superior.

Stereotipe negatif inilah yang menjadikan kesenian Tayub semakin termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat Jawa dewasa ini. Kalaupun tidak, esensi dari seni Tayub telah luntur, hilang diterpa arus zaman. Dengan kata lain, kesenian yang pada awalnya berfungsi sebagai sebuah hiburan yang bernuansa seni estetis dengan nilai-nilai budaya adiluhung ini telah beralih fungsi menjadi kesenian erotis yang hanya berfungsi sebagai pemuas nafsu belaka. Dengan menonjolkan sisi-sisi tertentu, misalnya sisi sensitif pada wanita, seperti “maaf” bagian dada pada wanita yang agak terbuka. Maka, kita-pun sering melihat tarian ini tak lagi menampilkan esensinya. Syair-syair yang pada awalnya berisi nasehat bijak berubah menjadi lagu-lagu yang berkonotasi negatif.

Padahal, dalam kajian etimologi, Tayub bermakna “ditata ben guyub” , diatur agar tercipta kerukunan. Makna ini merupakan esensi kesenian Tayub yang harus ditampilkan. Namun, citra buruk ataupun stereotipe negatif yang telah dilekatkan pada Tayub seakan mendarah daging dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Tayub bagi masyarakat luas, hanya dipandang dari sisi negatifnya, menjadi sebuah kesenian mesum, berkualitas rendah dan bertendensi erotis. Realitas inilah yang semakin menyudutkan kesenian Tayub, sehingga cap berkesenian dalam wujud para pelaku seni Tayub, yakni penari Tayub (ledhek) dan penabuh gamelan merupakan berkesenian yang tidak berseni.

Dimensi Mistis

Pada umumnya, banyak sekali kesenian Jawa yang bernuansa mistis, salah satunya adalah Tayub. Konon, para wanita penari Tayub menggunakan medium ataupun cara-cara mistis, seperti penggunaan susuk sebagai alat daya pikat dalam menarik para audiens atau penonton. Terlebih, para audiens-nya adalah kaum lak-laki. Entah benar atau tidak, toh kenyataannya, dalam kesenian Tayub memang menyimpan dimensi mistis. Dimensi mistis ini terletak pada unit gamelan Jawa yang digunakan sebagai musik pengiring tarian Tayub. Dalam masyarakat Jawa, pembuatan dan perawatan unit gamelan selalu menjadi ritual yang disakralkan. Misalnya, dimensi mistis ini telah terwakili oleh tradisi Sekaten di keraton Yogyakarta. Dalam upara Sekaten, dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) menjadi simbol dilaksanakannya upacara sakral itu.

Dimensi mistis pada kesenian Tayub, pada akhirnya menghantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa kesenian ini lebih tepat dikatakan sebagai kesenian rakyat daripada kesenian keraton. Simbol magis dan mistis yang ada dalam kesenian ini merupakan ciri khas dari kultur kaum abangan, yakni masyarakat pinggiran yang kultur religiusitasnya tidaklah kuat. Pengertian yang demikian, secara implisit berarti bahwa kesenian ini memang tidak dapat diterima dan berkembang dalam masyarakat luas. Artinya, kesenian ini hanya dapat tumbuh dalam lokus yang terbatas. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kesenian ini tidak layak disebut sebagai sebuah entitas kesenian. Sebab, bagaimanapun, menurut Kuntowijoyo, yang dinamakan kesenian adalah karya ataupun tradisi yang lahir dari suatu kelompok tertentu.

Sementara itu, Ignas Kleden mendefinisikan kesenian sebagai sebuah karya seni yang mengandung unsur hiburan serta sarat akan nilai dan norma pada masyarakat. Jadi, apabila merujuk pada pemikiran Ignas, asalkan kesenian ini tetap mempertahankan esensinya yang lekat dengan nilai dan norma orang Jawa, tentunya Tayub menjadi sangat layak diklaim sebagai sebuah kesenian.

Selain itu, Tayub juga dapat dikatakan sebagai bentuk seni perlawanan perempuan Jawa. Setidaknya, lewat kesenian Tayub, para penari Tayub bisa sejenak terlepas dari jerat kultur sosial patriark pada masyarakat Jawa. Dengan upah yang diterimanya, perempuan penari Tayub menjelma sebagai pribadi yang lebih mandiri dibandingkan dengan perempuan Jawa pada umumnya yang hanya meminta uang dari sang pria (suaminya). Tidak hanya itu, Tayub sebenarnya juga bisa menjadi ajang untuk saling bersosialisasi di tengah masyarakat. Kedekatan para penari dengan audiensnya telah menghilangkan jurang pemisah. Mereka seakan terikat dalam sebuah emosi kesenian.  Lantas, pertanyaannya, apakah berbagai nilai-nilai tersebut masih dapat bertahan? Barangkali, hanya perjalanan waktulah yang dapat menjawabnya. Meskipun demikian, kita harus tetap berusaha untuk menjaga dan melestarikan seni tari Tayub sebagai salah satu khasanah budaya milik bangsa.


sumber : iyanfukuyama.multiply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar